“Pilar, kumohon sekali lagi...”
–Dara-
Aku menghampiri
Pilar di tengah hamparan pasir putih. Dia masih sama. Masih saja mengenakkan jaket
bertudung itu. Dengan celana panjang serta harmonika di genggamannya. Membuatku
sadar, dia begitu sangat tampan. Dia mulai memainkan harmonikanya yang
terdengar sangat indah. Menjadikan aku tak dapat menyembunyikan rasa kagumku
padanya. Rata-rata, pilar bersikap beda dari biasanya. Tak kusangka, hal itu
bisa jauh lebih berarti
Tapi, aku
membenci perlakuannya. Tidak sadarkah dia, aku tidak terlalu berharap ia
melakukannya. Ini seperti kejadian yang pernah ku bayangkan. Dan aku tak tau
apakah dia akan melakukan sesuatu yang sama seperti yang ada dalam bayanganku?
Aku menepuk kedua pipiku, kurasa ini memang kenyataannya. Aku tidak sedang
membayangkan wajah Pilar. Memang Pilar yang ada didepanku
“Pilar, apa
ini? Apa maksud lo?”
“Emm..aaa...em...
Dara, gua pengen lo ngerti tentang perasaan gua. Tentang gua yang ga pernah mau
jauh dari lo. Tentang rasa cemas gua ke lo. Dan itu yang ngebuktiin kalo gua
beneran cinta sama lo. Gua tau ini terlalu cepat buat lo. Tapi lo sumber dari
semangat gua. Lo yang udah buat apapun yang gua rasain sempurna. Gua harap..”
“Pilar, maaf
gue gabisa. Selama ini gue gapernah berharap kata itu muncul dari lo. Gue tau
lo sayang, lo cemas sama gue. Tapi gue gamau hancurin persahabatan kita yang
kita jalani sejak kecil. Gue pengen kita tetep sahabatan aja. Enggak lebih
lar...”
“Tapi kenapa
ra? Gua tau persis perasaan lo ke gua juga sama. Gua udah nyusun rencana ini
sebaik mungkin, karena gua gamau lo kecewa”
“Gue
bener-bener gabisa terima lo sekarang. Ada alasan yang emang mengharuskan gue
sama lo itu engga lebih dari sebatas temen. Dan alasan itu gabisa gue jelasin
ke lo. Bukannya gue ga ngehargain usaha lo buat gue. Tapi karena gue lebih
sayang sama persahabatan kita daripada gue sama lo pacaran. Sekali lagi maafin
gue”
Aku pergi
meninggalkannya sendirian. Aku tau cowok itu kecewa karena keputusanku. Tapi
Pilar, andai kamu tau. Ini jalan terbaik untuk hubungan kita saat ini. Aku tak
ingin kamu kecewa lebih dalam mengenai hatiku. Pilar, aku ingin sekali menahanmu.
Aku ingin sekali merajut mimpiku denganmu. Tapi aku tak mampu. Aku lebih baik mundur
menanggapi perasaan tersembunyi ini. Perlu disadari, aku memang telah
mencintaimu. Menyimpan rapat-rapat semua tentangmu.
Ia mendekap
tubuhnya. Aku tak tau apakah ia menyesal dengan perlakuannya sendiri. Setangkai
mawar merah itu terjatuh. Pilar tak sadar aku masih menunggunya di balik pohon.
Tiba-tiba saja hujan mengguyur tempat ini. Pilar masih saja tak mau beranjak
dari tempat yang ia duduki. Mungkin ia masih butuh waktu untuk memahami. Aku
merasa aku telah menyingkirkan ambisi Pilar dan juga harapanku sendiri.
Akhirnya malam
semakin larut. Hujan telah berlabuh di pangkalannya dan berganti dengan gerimis
kecil. Pilar akhirnya pulang, dengan harapan yang telah hilang. Aku mengusap
mawar yang basah dan rusak karena tersapu hujan. Kelopak-kelopaknya masih utuh.
Aku mengambilnya dan ku putuskan untuk pulang.
Pilar, maafkan
aku. Bulan itu indah, walau aku tau aku sedang terluka. Setidaknya, ini usahaku
untuk membuatmu tak akan pernah mencintaiku lagi. Pilar, andai kamu tau. Aku
bertahan dengan rasa sakitku karena mencintaimu. Tapi apakah kamu memikirkan
hal yang sama? Aku ingin kita masih seperti kemarin. Pilar, andai kamu tau. Aku
hanya menetapkan satu tujuan yaitu bersamamu. Selebihnya, aku mengiyakan
rintangan saja. Kepedihan ini seperti menusuk hati. Ku akui aku tak bisa
menyembunyikan kekosongan hati ini. Aku benar-benar membutuhkanmu.
Wajahku memucat
saat mama menyambutku didepan rumah. Ia tau aku menangis bukan tersenyum lagi.
Mendapati tubuhku yang kedinginan dibalut air hujan, mama mengambil handuk
lebar. Hatiku terasa mencair terkena terpaan terikan kata-katanya. masih
terngiang penyesalan. Apakah itu artinya harapanku tak lagi berarti.
“Pilar, adalah
bagian terpenting, dan aku.. aku..”
Tangisanku
mendekap tubuh mama. Pilar selalu mengjariku untuk selalu tersenyum, tapi
kenyataannya aku masih bisa menangis jika hanya berbekal kata-katanya. kami
duduk disofa yang menghadap piano. Aku menceritakan semuanya. Masalah rumit
yang menimpaku dan juga Pilar. Itu semua gara-gara cinta, ia mengecewakan ku
dengan usapan lembutnya. Kalaupun segalanya harus beracuan pada cinta, kalaupun
seseorang harus melangkah dengan cinta. Aku akan memilih diam, karna
persahabatan lebih utama dari rasa yang menyesakkan dada itu.
“Sayang, cinta
itu penting. Tanpa cinta seseorang akan menjadi sekeras baja. Ia bagaikan piano
milikmu itu. Ada kelemahan ada pula kelebihan. Namun cinta selalu memberi
perubahan yang baik untuk masa depannya. Cinta seperti melody. Ia tak bernyawa
namun ia punya rasa. Ia peduli terhadap pihak yang ia putuskan untuk
bersamanya. Jika kamu merasakan sakit, cinta yang hinggap ditubuhmu lebih
sakit. Maka nikmatilah kesedihanmu, agar ia mampu menyembuhkan”
***
Esok itu aku menemukannya
di sudut kelas. Ku hampiri raganya disela pandangannya. Dia tampak masih sangat
kecewa. Rasanya, aku telah menghantamnya dengan pukulan tajamku. Aku
mendekatinya dengan sedikit cemas, aku takut ia akan membenciku. Aku bisa
memahami dirinya banyak fikiran. Bagaimanapun juga, aku belum pernah merasakan
sepertinya. Dan kurasa itu lebih perih dari yang ku rasakan sebelumnya. Hanya
pemahaman sejati yang bisa meluluhkannya
“Pilar?”
“Maaf ra, gua
sibuk!”
Pilar beranjak
pergi. Ia melepaskan tanganku yang menguntainya. Tuhan, apa aku telah jauh
membuatnya terluka. Aku menatap dengan pandangan kosong. Tak ku tau makna yang
ku tuju. Harus ku akui, aku harus melontarkan kata maaf padanya. Tapi bagaimana
bisa? Jika saja Pilar masih saja menghindariku. Apakah sudah terlambat jika aku
mengatakan aku mencintaimu? Kenapa waktu begitu terasa sangat lama saat aku
tidak sedang bersama Pilar.
***